Wakidjo Az., NBM. 494.220
Agen SM No. 025, Metro Lampung Tengah
Pertanyaan:
- Bagaimana kaifiyat sujud syukur dan dasar hukumnya?
- Bagaimana kaifiyat sujud tilawah dan dasar hukumnya?
Jawaban:
Mengenai sujud syukur dan sujud tilawah telah diputuskan dan ditetapkan hukumnya pada Muktamar Tarjih di Pekalongan, 9-14 Rabi‘ul Awal 1392 / 23-28 April 1972 (baca HPT cet. III hal. 356-361). Namun untuk lebih jelas lagi akan kami terangkan sebagai berikut:
Soal pertama tentang sujud syukur
Sujud syukur ialah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika ia diberitahu atau memperoleh sesuatu yang menggemberikan hatinya, atau ia merasa telah memperoleh nikmat yang besar dari Allah SWT. Sujud syukur dilakukan sebagai reaksi spontan dari seseorang atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, lalu ia bersujud kepada Allah sebagai tanda bahwa ia tunduk dan patuh kepada-Nya dan mensyukuri atas nikmat serta kegembiraan yang telah dianugerahkan-Nya. Dasar hukum sujud syukur ialah beberapa hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرَ يَسُرُّهُ خَرَّ سَاجِدًا ِلل
[رواه الخمسة إلا النسائى]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra., bahwasanya Nabi saw apabila datang sesuatu yang menggemberikan kepadanya ia tunduk dalam keadaan bersujud kepada Allah.” [HR. lima Imam Hadits kecuali an-Nasaa’i].
عَنْ اْلبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ عَلِيًّا إِلَى الْيَمَنِ - فَذَكَرَ الْحَدِيْثُ - قَالَ فَكَتَبَ عَلِيٌّ بِإِسْلاَمِهِمْ فَلَمَّا قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ الْكِتَابَ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا ِللهِ تَعَالَى عَلَى ذَلِكَ
[رواه البيهقي وأصله في البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Al-Baraa’ bin ‘Azib ra., bahwasanya Nabi saw telah mengutus Ali ke Yaman, - maka tersebut dalam hadits, - ia berkata: Maka Ali menulis surat (kepada Nabi saw) yang memberitakan tentang masuk Islamnya penduduk Yaman. Maka tatkala Rasulullah saw membaca surat itu, beliau tersungkur dalam keadaan sujud sebagai tanda syukur kepada Allah atas peristiwa itu.” [HR. al-Baihaqi dan asalnya dari al-Bukhari].
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَجَدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطَالَ السُّجُوْدَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ إِنَّ جِبْرِيْلَ أَتَانِي فَبَشَّرَنِي فَسَجَدْتُ ِللهِ شُكْرًا
[رواه أحمد وصححه الحاكم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf ra., ia berkata: Rasulullah saw pernah sujud dan lama sujudnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu bersabda: Sesungguhnya Malaikat Jibril telah datang kepadaku (membawa kabar), dan kabar itu menggemberikan hatiku, karena itu aku sujud sebagai tanda syukur kepada Allah.” [HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim].
Tidak ditemukan tuntunan tentang sujud syukur itu, kecuali sebagaimana diterangkan hadits-hadits di atas. Karena itu para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyat sujud syukur tersebut. Sebagian ulama mengqiyaskannya kepada shalat biasa, dengan arti sebelum sujud syukur itu berwudlu lebih dahulu, kemudian takbir dengan menghadap ke kiblat, kemudian sujud dan berdoa dan diakhiri dengan salam (Subulus-Salam, Jilid 1 hal. 211). Sedang pendapat yang lain menyatakan bahwa sujud syukur itu dilakukan tanpa wudlu, tidak perlu menghadap ke kiblat, di sembarang tempat, dilakukan sekali saja, tanpa takbir dan salam, serta dilakukan di luar shalat. Pendapat yang terakhir ini berdasarkan pemahaman terhadap arti zhahir dari hadits-hadits di atas. Pada waktu sujud dibaca doa dan tasbih, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَالِكُوْنَ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدًا فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ
[رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya ialah pada waktu ia sedang sujud, oleh karena itu perbanyaklah doa.” [HR. Muslim].
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam mengikuti pendapat yang kedua, dengan arti bahwa sujud syukur itu dilakukan tanpa wudlu, tidak dalam shalat,tanpa takbir dan salam serta langsung bersujud ketika mendengar atau memperoleh sesuatu yang menggembirakan, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, dan doa.
Soal kedua tentang sujud tilawah
Sujud tilawah ialah sujud yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu membaca atau mendengar bacaan ayat-ayat sajdah yang dilakukan baik dalam keadaan sedang melaksanakan shalat maupun di luar shalat, berdasarkan beberapa hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ اِعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُوْلُ يَا وَيْلَهُ أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ فَلَهُ اْلجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُوْدِ فَعَصَيْتُ فَلِي النَّارُ
[رواه أحمد ومسلم وابن ماجه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang membaca ayat sajdah lalu ia sujud, maka menyingkirlah syaithan dengan menangis berkata: Sungguh celaka, manusia diperintah sujud lalu ia sujud, maka baginya surga. Sedangkan aku diperintah sujud tetapi aku membangkang, maka bagiku neraka.” [HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ رُبَّمَا قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَيَمُرُّ بِالسَّجْدَةِ فَيَسْجُدُ بِنَا حَتَّى ازْدَحَمْنَا عِنْدَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَكَانًا لِيَسْجُدَ فِيْهِ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ
[رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Pernah Nabi saw membaca al-Qur’an lalu bertemu dengan ayat sajdah, kami bersama-sama beliau sujud, sehingga kami berdesak-desakan di sekitarnya, sehingga di antara kami ada yang tidak mendapatkan tempat sujud. Hal ini bukan di dalam shalat.” [HR. Muslim].
Hukum sujud tilawah adalah sunat, berdasarkan hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا لَمْ نُؤْمَرْ بِالسُّجُوْدِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
[رواه البخاري].
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Hai sekalian manusia, kita tidak diperintah untuk bersujud, barangsiapa yang bersujud ia mendapat pahala, dan barangsiapa yang tidak bersujud ia tidak berdosa.” [HR. al-Bukhari].
Jika sujud tilawah dalam shalat, tergantung kepada imam pada saat membaca ayat sajdah. Jika imam sujud makmum pun sujud, jika imam tidak sujud makmum pun tidak sujud, berdasarkan hadits:
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمٍ قَالَ إِنَّ غُلاَمًا قَرَأَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّجْدَةَ فَانْتَظَرَ الْغُلاَمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَيْسَ فِي هَذِهِ السَّجْدَةِ سُجُوْدًا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلَى وَلَكِنَّكَ كُنْتَ إِمَامَنَا فِيْهَا وَلَوْ سَجَدْتَ لَسَجَدْنَا
[رواه ابن أبي شيبة].
Artinya: “Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam ra., sesungguhnya seorang anak membaca ayat sajdah di samping Nabi saw, ia tunggu Nabi saw sujud, tapi beliau tidak sujud, anak itu berkata: Ya Rasulullah, bukankah pada (waktu membaca) ayat sajdah ini ada sujud? Nabi saw bersabda: Benar, tetapi engkau menjadi imam kami padanya, dan kalau engkau sujud kami pun sujud.” [HR. Ibnu Abi Syaibah].
Sebaiknya membaca takbir sebelum melaksanakan sujud tilawah, berdasarkan hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ كَبَّرَ وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ
[رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Pernah Nabi saw membacakan al-Qur’an atas kami. Maka apabila sampai kepada ayat sajdah beliau bertakbir dan sujud, dan kami pun sujud bersama beliau.” [HR. Abu Dawud].
Jika sujud tilawah dilakukan di luar shalat, tidak perlu berwudlu lebih dahulu dan menukar pakaian dengan yang bersih, berdasarkan hadits:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَسْجُدُ عَلَى غَيْرِ وُضُوْءٍ
[رواه البخاري].
Artinya: “Bahwasanya Ibnu Umar melakukan sujud tilawah (di luar shalat) tidak berwudlu lebih dahulu.” [HR. al-Bukhari].
Pada waktu melakukan sujud tilawah dibaca doa: “Sajada wajhii lil-ladzii khalaqahu wa shawwarahu wa syaqqa sam‘ahu wa basharahu wa bi haulihi wa quwwatihi”, berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِي سُجُوْدِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ وَبِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
[رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw membaca pada sujud tilawah di malam hari (yang artinya): Wajahku sujud kepada Dzat yang menjadikan dan membentuknya, dan yang memberi pendengaran dan penglihatan dengan kekuatan dan kekuasaannya.” [HR. Abu Dawud].
Sekalipun tidak ada dalil yang menerangkan, namun dari hadits-hadits tersebut di atas dapat difahami bahwa sujud tilawah itu dilakukan sekali saja.
Ada lima belas ayat-ayat sajdah yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana diterangkan oleh hadits:
عَنْ عَمْرَو بْنِ اْلعَاصِ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي خَمْسَ عَشْرَةَ سَجَدَةً فِي الْقُرْآنِ فِيْهَا ثَلاَثٌ فِي اْلمُفَصَّلِ وَفِي اْلحَجِّ سَجَدَتَانِ
[رواه أبو داود وابن ماجه].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Ash ra., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw mengajarkan lima belas ayat sajdah dalam al-Qur’an, tiga di antaranya terdapat dalam surat mufashshal (pendek-pendek) dan dua dalam surat al-Hajj.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Ayat-ayat sajdah yang lima belas itu ialah sebagai berikut:
- QS. al-A‘raf (7): 206
- QS. ar-Ra‘d (13): 15
- QS. an-Nahl (16): 49
- QS. al-Israa’ (17): 107
- QS. Maryam (19): 58
- QS. al-Hajj (22): 18
- QS. al-Hajj (22): 77
- QS. al-Furqan (25): 60
- QS. an-Naml (27): 25
- QS. as-Sajdah (32): 15
- QS. Shaad (38): 24
- QS. Fushshilat (41): 37
- QS. an-Najm (53): 62
- QS. al-Insyiqaq (84): 21
- QS. al-‘Alaq (96): 19
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan komentar yang sopan dan tanpa menyinggung siapapun, terimakasih atas partisipasinya.