Bagi
sarjana atau pengamat asing yang tidak biasa hadir di acara akademik
di Indonesia, barangkali mereka terheran dengan penyelenggaraan IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah) di Universtas Muhammadiyah Malang (UMM)
yang berakhir awal Desember 2012 lalu. Meski acara itu merupakan
kegiatan akademik, namun simbol-simbol keagamaan tampil secara jelas di
mana-mana. Berbeda dari acara akademik di dunia barat, IRCM dimulai
dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lagu Indonesia Raya, dan hymne Muhammadiyah.
Para pembicara pun, meski memaparkan kajian atau temuan ilmiah, tapi
banyak yang memulai dan mengakhiri presentasinya dengan bismilah dan
alhmadulillah.
Bagi orang Indonesia, apalagi orang Muhammadiyah,
tentu tidak ada yang aneh dengan semua proses itu. Tapi tidak demikian
halnya dengan mereka yang berpikir bahwa dunia akademis harus bersih
dari nilai dan simbol keagamaan. Kelompok kedua ini akan menganggap
adanya nilai dan simbol agama akan mengganggu sikap netral seorang
akademisi ketika sedang mengkaji agama atau aktivitas keagamaan. Karena
itu, apa yang terjadi di Malang itu menjadi semacam ambiguitas dalam
memulai langkah observasi dan kajian ilmiah; yaitu antara ketundukan
kepada agama atau mendedikasikan seluruh upaya keilmuan untuk
membenarkan apa yang tertulis secara harfiyah dalam kitab suci dan
upaya berpikir obyektif demi keilmuan murni. Tapi memang seperti itulah
dunia akademis kita yang tidak sekuler, paling tidak apa yang tampak
di permukaan.
Tentu saja pembacaan kalam suci Ilahi berbeda dari tarian topeng yang juga ditampilkan di pembukaan IRCM. Tarian yang ditampilkan oleh mahasiswa UMM
itu cukup memukau dan menghibur para hadirin. Tidak hanya sebagai
sebuah hiburan, tapi juga sebagai kontradiksi dalam organisasi
Muhammadiyah yang terkenal sebagai organisasi puritan yang anti terhadap budaya lokal yang sinkretik. Tarian topeng itu juga menampilkan kontradiksi antara peran perempuan di ruang publik yang dalam pemahaman kelompok ekstrim
puritan harus dipisahkan dari laki-laki. Beruntung, dalam tarian
topeng ini tak tampak jelas apakah penarinya laki-laki atau
perempuan. Dan terlebih lagi, tarian itu tak menampilkan unsur erotis apapun yang seringkali menjadi taboo di organisasi ini.
Masih berkaitan dengan tarian, persoalan dasar lain yang masih menjadi
perdebatan di tubuh organisasi seperti Muhammadiyah adalah persoalan sinkretisme. Tapi sepertinya tarian itu tak menodai iman atau tauhid
sama sekali karena tak mengandung unsur-unsur ketuhanan, sehingga tak
perlu dikhawatirkan. Justru sebaliknya, tarian itu mampu menampilkan
kombinasi yang menarik antara tradisi, agama, dan modernisasi. Tarian
topeng itu diambil dari budaya Indonesia dan ditampilkan dengan kostum
tradisional. Namun penari perempuan yang tampil tak melepaskan simbol
agama dengan tetap memakai jilbab. Tarian ini juga ditampilkan dalam
pembukaan acara yang bernuansa modern yang menampilkan kemegahan UMM
dan kecanggihan teknologi di kampus itu.
IRCM
di Malang dan peringatan 100 tahun Muhammadiyah bulan November yang
lalu menampilkan banyak hal yang perlu dicermati, selain
penyelenggaraan acara itu sendiri. Salah satunya adalah apa yang
ditampilkan oleh Robin Bush (Asian Research Institute, Singapura) dan
Ken Miichi (Iwate Prefectural University, Jepang). Mereka menampilkan
data yang cukup mengejutkan tentang jumlah orang Indonesia yang mengaku
berafiliasi dengan Muhammadiyah. Selama ini yang berkembang adalah ada
perbedaan sekitar 10 juta antara jumlah warga NU (Nahdlatul Ulama) dan
Muhammadiyah. Jika NU disebut memiliki 40 juta anggota, maka
Muhammadiyah memiliki 30 juta anggota. Jika NU berjumlah 30 juta, maka
Muhammadiyah berjumlah 20 juta.
Berdasarkan survey yang dilakukan The Asia Foundation (TAF)
dan dipresentasikan oleh Robin Bush, warga Indonesia yang mengaku
berafiliasi dengan NU berjumlah 49 persen, sementara yang berafiliasi
dengan Muhammadiyah hanya 7,9 persen. Sementara menurut survey dari Ken
Miichi, warga NU adalah 30 persen, sementara yang mengaku dirinya
Muhammadiyah hanya 4,6 persen.
Tentu saja banyak penjelasan yang bisa diberikan terhadap data itu.
Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Rizal Sukma, direktur
eksekutif CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan
ketua lembaga hubungan luar negeri PP Muhammadiyah. Menurutnya,
Muhammadiyah adalah organisasi, sementara NU adalah tradisi. Orang
hanya menyebut dirinya sebagai anggota organisasi jika dia secara resmi
terdaftar di organisasi itu. Sementara untuk NU, orang bisa mengklaim
dirinya NU meski hanya sekali mengikuti tradisi ziarah kubur dan
tahlilan. Apapun penjelasan yang diberikan terhadap data itu, orang
Muhammadiyah perlu berefleksi tentang kuantitas keanggotaannya, di
samping kualitasnya tentu saja. Mengapa? Politik di Indonesia itu
sering didasarkan pada politik angka-angka. Jika jumlahnya kecil, maka
tidak perlu ada wakil dari Muhammadiyah di kabinet karena Muhammadiyah
hanya representasi dari minoritas warga Indonesia. Ini hanya satu
contoh dampak dari angka di politik.
Di samping data yang membuat prihatin itu, tentu banyak hal positif
yang berkembang di Muhammadiyah. Salah satunya adalah kemampuan
Muhammadiyah menjaga diri dari carut-marut politik. Ini, misalnya,
berbeda dari NU yang belakangan ini banyak warganya yang hanyut dalam
kisaran politik kotor dan melupakan misi sosial dan keagamaan.
Secara umum, konferensi di Malang itu menampilkan kemampuan
Muhammadiyah untuk melangkah ke tingkat global dan menunjukkan wajah
Indonesia ke masyarakat dunia. Seperti yang disampaikan oleh Azyumardi
Azra, acara di Malang itu sangat mengesankan karena seluruh acara bisa
diselenggara dengan menggunakan bahasa Inggris dengan sangat lancar.
Menurutnya, acara seperti ini tidak bisa terjadi bahkan di Malaysia,
Filipina dan Thailand. Azyumardi bahkan menyebut ini merupakan
konferensi terbesar di dunia yang membahas tentang organisasi Islam.
Robert Hefner (Boston University) dan Merle Ricklefs (Australian
National University) bahkan berkali-kali menyampaikan apresiasi
positifnya terhadap seluruh rangkaian perayaan 100 tahun Muhammadiyah
dan IRCM.
Yang paling tampak kontras antara sebelum dan setelah acara adalah
Jonathan Benthall, profesor ahli masalah filantropi dari University
College London (UCL). Benthall tiba di Malang dua hari sebelum acara
berlangsung. Dalam dua hari itu, ketika bertemu dengan panitia ia
selalu menampilkan wajah masam setiap kali bertemu dengan panitia.
Namun ketika acara berlangsung, dia adalah salah satu peserta yang
paling aktif, termasuk pada pertunjukan film di malam hari dan
kunjungan ke AUM (Rumah Sakit Pendidikan UMM dan Obyek Wisata Alam
Muhammadiyah di Batu). Memasuki hari kedua konferensi, Benthall mulai
ramah ke panitia dan memuji penyelenggaraan. Pada hari terakhir,
Benthall menjadi salah satu orang yang paling murah senyum dan akrab.
Benthall juga yang mempersiapkan pembuatan laporan IRCM di jurnal
internasional Anthropology Today yang rencananya akan ditulis oleh Claire-Marie Hefner.
Setelah memberikan kesadaran akan kemampuan Muhammadiyah berada di
tingkat global, sebagai bentuk refleksi, barangkali Muhammadiyah perlu
mengkonsolidasikan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang berasal dari
Timur Tengah untuk menyelenggarakan acara serupa. Dengan cara ini, akan
tampak potensi besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang selama ini
masih tertimbun. Organisasi ini memiliki banyak kader yang sangat kuat
penguasaannya terhadap khazanah Islam klasik dan Timur Tengah. Akan
menjadi prestasi yang luar biasa jika Muhammadiyah juga mampu
menyelenggarakan konferensi internasional dengan bahasa Arab dengan
menghadirkan pakar-pakar Islam dari Timur Tengah seperti Hassan Hanafi.
Oleh Ahmad Najib Burhani Pengurus PCIM Amerika Serikat, Peneliti LIPI
Oleh Ahmad Najib Burhani Pengurus PCIM Amerika Serikat, Peneliti LIPI
Suara Muhammadiyah
-oo0oo-
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan komentar yang sopan dan tanpa menyinggung siapapun, terimakasih atas partisipasinya.