Sebelum
Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan kepada para sahabatnya agar
tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai
Haji Ibrahim, adik ipar KH. A. Dahlan. Mula-mula K.H. Ibrahim yang
terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban
yang demikian berat itu. Namun, atas desakan sahabat-sahabatnya agar
amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa
menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan
Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja‘, 1933: 232).
K.H.
Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah
putra K.H. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan
Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII OGRE(Soedja‘. 1933:
227), dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim
menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno
(Soeja‘, 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah
ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap
Allah. Selang beberapa waktu kemudian Ibrahim menikah dengan ibu
Moesinah, putri ragil dari K.H. Abdulrahman (adik kandung dari ibu
Moechidah).
Ibu
Moesinah (Nyai Ibrahim yang ke-2) dikaruniai usia yang cukup panjang
yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998.
Menurut penilaian para sahabat dan saudaranya, Ibu Moesinah Ibrahim
merupakan potret wanita zuhud, penyabar, gemar sholat malam dan gemar
silaturahmi. Karena kepribadiannya itulah maka Hj. Moesinah sering
dikatakan sebagai ibu teladan (Suara ‘Aisyiyah. No.1/1999: 20).
Masa
kecil Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan
mengkaji Al-Qur’an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam
ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH. M. Nur. Ia
menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula
menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902
ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
K.H.
Ibrahim yang selalu mengenakan jubah panjang dan sorban dikenal
sebagai ulama besar dan berilmu tinggi. Setibanya di tanah air, K.H.
Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang
berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan K.H. Ibrahim. Beliau termasuk
seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya
dan disegani. Ia hafal (hafidh) Al-Quran dan ahli qira’ah (seni
baca Al-Quran), serta mahir berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia
sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya
dalam penghafalan Al-Qur’an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum
dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-’arsy atau
sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukittinggi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa
Arab yang fasih.
K.H. Ibrahim juga memimpin kaum ibu supaya rajin beramal dan
beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin mengerjakan perintah agama
Islam dan diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja‘, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini
banyak memberikan jasa kepada Muham-madiyah dan ‘Aisyiyah, misalnya
banyak membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, ‘Aisyiyah, PKU,
Bagian Tabligh, dan Bagian Taman Poestaka.
Pengajian yang diasuh K.H. Ibrahim itu memakai metode sorogan dan weton.
Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum‘at dan Selasa.
Dalam menerapkan dua macam metode tersebut, dipakai waktu yang berbeda,
yaitu :
- Pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, yaitu mengaji dengan diajar seorang demi seorang/satu persatu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu.
- Pada waktu sore hari sesudah Ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton, yaitu mengajar mengaji dengan cara Kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing.
Semenjak
kepemimpinan K.H. Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah begitu pesat.
Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan meresap di seluruh
Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota
Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo,
Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21
di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan
berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat
meluas ke seluruh wilayah Indonesia.
Menurut
catatan K.H. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K.H.
Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan
patut dicatat adalah: tahun 1924, K.H. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan
yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun
1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Disamping itu, ia juga
mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri
keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar
disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
Pada
periode kepemimpinan K.H. Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928
mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu‘allimin,
Mu‘allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan ‘anak panah Muhammadiyah’ (AR Fachruddin, 1991).
Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My,
yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang
bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi
penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu ada gejala
mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di
Makasar tahun 1932 diputuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat
kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
K.H. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali
Kongres Muhammadiyah. Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak
memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan
aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga
berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib, dan
kuat. Ia juga berhasil meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
Dalam
masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari
pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah
dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond
(PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula yang
dimiliki Belanda. Tujuan PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan
kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam
produksi, pemasaran dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada
hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula.
PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam’iyatul Hasanah yang
bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka
untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula.
Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin
besar karena Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerja-sama
dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun
fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan
K.H. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari Cabang-cabang
Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus
Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti fitnahan tersebut tidak
benar.
Pada
periode kepemimpinan K.H. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali
Rapat Tahunan Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan
Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah, mengambil tempat di
Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
K.H.
Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal
tahun 1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah
kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat,
bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres
Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan K.H. Ibrahim)
Cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan komentar yang sopan dan tanpa menyinggung siapapun, terimakasih atas partisipasinya.